Jakarta | Jabarinaja.com — Dalam lautan cahaya kota dan hiruk-pikuk lalu lintas, ada kisah-kisah kecil yang kerap terabaikan. Itulah yang diangkat oleh penulis muda berbakat Hadi Surya Pratama dalam karyanya “Tanpa Nama di Jakarta”, sebuah kumpulan cerpen realisme sosial yang kini menjadi bahan diskusi hangat di berbagai forum sastra dan klub baca se-Indonesia.
Dirilis pada awal 2025, buku ini menawarkan 17 cerita pendek yang menyoroti kehidupan kaum marjinal—pemulung, pengamen, buruh, supir ojek online, anak jalanan—yang selama ini hanya jadi latar di balik kilau kota.
Dalam cerpen “Karpet Merah di Trotoar”, pembaca diajak menyelami kehidupan Samin, seorang tunawisma yang tinggal di bawah jembatan dan punya mimpi membuka toko kelontong. Di cerita lain, “Terminal Tanpa Tujuan”, kisah tentang kernet angkot yang kehilangan rute akibat digitalisasi transportasi menyentuh pembaca dengan kejujuran yang menohok.
Bahasa yang digunakan Hadi cenderung lugas, tanpa banyak metafora, namun menyimpan kedalaman makna yang kuat. Ia berhasil memotret kenyataan tanpa menggurui—membiarkan pembaca menyimpulkan sendiri, namun tak bisa diam setelahnya.
Melalui buku ini, Hadi tak hanya menceritakan, tapi juga mengajak pembaca merenung: tentang keadilan sosial, ketimpangan ekonomi, dan bagaimana sistem kota besar seringkali menindas mereka yang paling lemah. Tapi di tengah gelap, ia masih menyelipkan harapan—dalam bentuk solidaritas, cinta kecil, atau mimpi yang belum padam.
“Setiap cerita di sini adalah wajah-wajah yang kita lihat setiap hari tapi tak pernah kita perhatikan,” ujar Hadi dalam sesi bedah buku di Taman Ismail Marzuki, April lalu.
Sejak rilis, “Tanpa Nama di Jakarta” mendapat rating 4.7/5 di platform-platform pembaca dan menuai pujian dari kritikus. Beberapa menyebutnya sebagai penerus napas Ahmad Tohari dan Seno Gumira Ajidarma, dalam versi urban yang lebih kekinian.
Buku ini juga telah masuk daftar panjang nominasi Penghargaan Sastra Jakarta 2025 dan menjadi buku wajib baca di beberapa komunitas literasi kampus.
📚 “Tanpa Nama di Jakarta” adalah suara-suara kecil yang akhirnya terdengar. Sebuah karya penting untuk siapa pun yang ingin memahami Jakarta, bukan hanya dari gedung-gedung tinggi dan kafe trendi, tapi dari jalanan yang sesungguhnya.”